Tuesday 4 June 2013

MAKALAH :PRINSIP DASAR DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR



PRINSIP DASAR DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling 





Oleh
1.       Apriandi                         
2.       Elderana Fathanmubina 
3.       Sitti Aisyah                    
4.       Sri Mulyani                     
5.       Ugi Supriatna                 

JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013


BAB I

PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran  agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak  mulia,serta keterampilan yang diperlukandirinya, masyarakat, bangsa dan negara.(Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan secara definitif adalah memanusiakan manusia yang didalamnya memuat kegiatan interaksi antara pendidik dan peserta didik yang meliputi transfer materi pembelajaran dan pengalaman yang bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam proses belajar mengajar tersebut yang menjadi objeknya adalah siswa atau peserta didik.
Fokus utama dari sebuah pendidikan adalah bagaimana mendidik dan mengarahkan peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan demi mencapai esensi pendidikan itu sendiri. Terlepas dari itu semua
Berangkat dari itu semua, diperlukan suatu sistem bimbingan untuk mengatasi permasalahan tersebut yang pastinya menjadi sebuah kesulitan dalam proses pembelajaran, dan pastinya hal pertama untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengdiasnosis permasalahan itu. Dari uraian di atas, maka penulis menuangkan hal tersebut dalam makalah ini, namun dalam batasan mengenai “Prinsip Dasar Diagnostik Kesulitan Belajar”.
2.      Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan sebaga berikut :
a.       Apa prinsip dasar diagnostik kesulitan belajar?
b.      Bagaimana mengidentifikasi kasus kesulitan belajar?
c.       Bagaimana mengidentifikasi faktor penyebab kesulitan belajar?
3.      Tujuan Penulisan Makalah
Adapun tujuan penulisan makalah ini adaalh untuk mengidentifikasi, menemukan dan menganalisis satu bahasan mengenai diagnostis kesulitan belajar.
4.      Manfaat Penulisan Makalah
Denganadanyamakalahini,penulisberharaphasilpembahasan yang adadapat menjadi pengetahuan baru untuk pembaca mengenai prinsip dasar diagnostik kesulitan belajar.Pemahaman yang tumbuh penulis harapakan menjadi bekal kedepannya jika nantinya kita menjadi seorang konselor pendidikan.
5.      Metode Pengkajian Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan hasil kajian pustakayang telah dilakukan oleh penulis.







BAB II
PEMBAHASAN
1.      Konsep Dasar Diagnostik Kesulitan Belajar
a.       Pengertian Diagnostik
Diagnosis merupakan istilah teknis (terminology) yang kita adopsi dari bidang medis. Menurut Thorndike dan Hagen (1955:530-532), diagnosis dapat di artikan sebagai berikut :
1)      Upaya atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan melalui pengujian dan studi yang saksama mengenai gejala-gejalanya.
2)      Studi yang saksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
3)      Keputusan yang dicapai setelah dilakukan studi secara sakasama atas gejala-gejala atau fakta tentang suatu hal.
Dilihat dari ketiga definisi di atas, diagnosis ternyata bukan hanya mengidentifikasi, tetapi juga memutuskan prediksi kemungkinan-kemungkinan untuk menyarankan cara pemecahannya.
b.      Pengertian Kesulitan Belajar
Menurut Burton (1952 : 622-624) mengidentifikasi seorang siswa dapat dipandang atau dapat diduga mengalami kesulitan belajar jika yang bersangkutan menunjukkan kegagalan tertentu dalam mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar didefinisikan sebagai berikut :
1)      Siswa dikatakan gagal apabila dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mecapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan minimal dalam pelajaran tertentu, seperti yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru. Kasus siswa semacam ini dapat digolongkan ke dalam lower group.
2)      Siswa dikatakan gagal apabila yang bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya. Ia diramalkan akan dapat mengerjakannya atau mencapai suatu prestasi, namun ternyata tidak sesuai dengan kemampuannya.Kasus siswa semacam ini dapat digolongkan ke dalam under archievers.
3)      Siswa dikatakan gagal  kalau yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk penyersuaian sosial sesuai dengan pola organismiknya pada fase perkembangan tertentu, seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan.Kasus siswa semacam ini dapat digolongkan ke dalam slow learners.
4)      Siswa dikatakan gagal kalau yang bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan pada tingkat pelajaran berikutnya.Kasus siswa semacam ini dapat digolongkan ke dalam slow learners atau belum matang sehingga mungkin harus mengulang
Berdasarkan pengertian diagnosis dan kesulitan belajar di atas, dapat disimpulkan diagnostik kesulitan belajar sebagai suatu proses atau upaya untuk memahami jenis dan karakteristik serta latar belakang kesulitan-kesulitan belajar dengan menghimpun dan mempergunakan berbagai data/informasi selengkap dan seobjektif mungkin sehingga memungkinkan untuk mengmbil kesimpulan dan keputusan serta mencari alternative kemungkinan pemecahannya.
c.       Prosedur dan Teknik Diagnostik Kesulitan Belajar
Secara umum langkah – langkah pelansanaan diagnostic kesulitan belajar selaras dengan langkah – langkah pelaksanaan bimbingan belajar, namun secara khusus, langkah – langkah diagnostik kesulitan belajar itu dapat diperinci lebih lanjut.
Ross dan Stanley (1956 : 332-341) menggariskan tahapan diagnosis sebagai berikut:


Dari skema tersebut, tampak bahwa keempat langkah yang pertama dari diagnosis itu merupakan usaha perbaikan atau penyembuhan.Sedangkan langkah yang kelima merupakan usaha pencegahan.
Burton (1952 : 640-652) menggariskan agak lain, yaitu berdasarkan kepada teknik dan instrumen yang digunakan dalam pelaksanaannya sebagai berikut :
1)      General Diagnostic
Pada tahap ini lazim digunakan tes baku, seperti yang digunakan untuk evaluasi dan pengukuran psikoligis dan hasil belajar. Sasarannya, untuk menemukan siapakah siswa yang diduga mengalami kelemahan tersebut.
2)      Analystic diagnostic
Pada tahap ini yang lazimnya digunakan adalah tes diagnostic.Sasarannya, untuk mengetahui dimana letak kelemahan tersebut.
3)      Psychological diagnostic
Pada tahap ini teknik pendekatan dan instrument yang digunakan antara lain :
a)        Observasi
b)        Analisis karya tulis
c)        Analisis proses dan respons lisan
d)       Analisis berbagai catatan objektif
e)        Wawancara
f)         Pendekatan laboratorium dan klinis
g)        Studi kasus
Dari kedua model pola pendekatan di atas, Prof. Dr. H. Abin Syamsudin Makmun, M. A. menjabarkannya ke dalam suatu pola pendekatan operasional sebagai berikut :




 
2.      Mengidentifikasi Kasus Kesulitan Belajar
a.       Menandai Siswa yang Diduga Mengalami Kesulitan Belajar
Jika suatu kelompok siswa yang terdistribusi normal, sudah dapat diperkirakan ada sejumlah kasus hipotetik kesulitan belajar sekitar 10-25% dari keseluruhan populasi kelompok tersebut.Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana caranya membuktikan kasus tersebut di dalam prakteknya. Dengan kata lain, siapa-siapa siswa di dalam kenyataannya yang memerlukan bantuan itu.
Dengan menghimpun dan menganalisis catatan-catatan hasil belajarnya serta menafsirkan dengan cara tertentu, kita akan menemukan kasus termaksud. Dalam menafsirkan data hasil belajar tersebut dapat dipergunakan criterion-referenced atau norm-referenced (PAP atau PAN).
Jika kita menggunakan citerion-referenced (PAP) dengan berasumsi bahwa instrument evaluasi atau soal yang kita pergunakan telah dikembangkan dengan memenuhi syarat, caranya dapat kita tempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut.
1)      Tetapkan angka kualifikasi minimal yang dapat diterima sebagai batas lulus (passing grade) atau jumlah kesalahan minimal yang masih dapat ditoleril dalam suatu penilaian. Ketentuannya, menurut kebijakan guru yang bersangkutan.
2)      Kemudian bandingkan angka nilai (prestasi) dari setiap siswa dengan angka nilai batas lulus tersebut. Catatlah siswa-siswa mana yang nilai prestasinya berada di bawah nilai batas lulus tersebut. Secara teoritis, mereka yang angka nilai prestasinya berada di bawah batas lulus , sudah dapat diduga sebagai siswa yang mengalami kesulitan dalam belajarnya.
3)      Himpunlah semua siswa yang angka nilai prestasinya di bawah nilai batas lulus tersebut. Kesemuanya mungkin akan merupakan sebagian besar (mayoritas), seimbang (fifty-fifty), sebagian kecil (minoritas) dibandingkan keseluruhan kelompoknya.
4)      Jika ingin mengadakan prioritas layanan kepada mereka yang diduga paling berat kesulitannya atau paling banyak membuat kesalahan, seyogyanya kita membuat ranking, dengan langkah-langkah sebagai berikut.
a)      Pertama, selisihkan angka nilai prestasi setiap siswa (kasus) dengan angka nilai passing grade (batas lulus) itu sehingga akan diperoleh angka selisih (deviasi)-nya.
b)      Susunlah daftar kasus tersebut dari mulai dengan siswa yang angka selisihnya paling besar.
Dengan cara di atas maka kita dapat menandai:
a)      kelas atau kelompok siswa tertentu sebagai kasus, jika kita teliti ternyata mayoritas dari populasi kelas atau kelompok tersebut nilai prestasinya di bawah nilai batas lulus;
b)      individu – individu siswa sebagai kasus, jika ternyata hanya sebagian kecil (minoritas) dari populasi kelas yang memperoleh angka nilai prestasi di bawah batas lulus; bahkan lebih lanjut sudah ditandai pula siswa mana yang diprioritaskan perlu dibantu (berdasarkan ranking, urutan tingkat kelemahannya).
Dengan hasil penandaan itu maka dapat dikatakan bahwa kelas atau individu – individu tersebut memerlukan bimbingan belajar karena prestasinya belum memenuhi apa yang diharapkan.
Alternatif kedua, kita menggunakan norm-references (PAN) dimana nilai prestasi rata-rata yang dijadikan ukuran pembanding bagi setiap nilai prestasi siswa secara individual. Langkah-langkahnya pada prinsipnya sama saja dengan metode criterion-references (PAP), tetapi teknisnya berbeda, sebagai berikut.
1)      Cari atau hitunglah nilai rata-rata kelas atau kelompok.
2)      Tandailah siswa-siswa yang angka nilai prestasinya berada di bawah rata-rata prestasi kelasnya.
3)      Jika ingin diadakan prioritas layanan bimbingan, buatlah ranking dengan menghitung angka selisih atau deviasi nilai prestasi individu dengan angka nilai rata-rata prestasi kelasnya.
Dengan jalan demikian, maka kita akan mendapatkan sejumlah kasus yang diduga mengalami kesulitan belajar karena jauh berbeda dibandingkan rata-rata prestasi kelasnya. Jika ingin memperoleh gambaran tentang kualifikasi kelas yang bersangkutan secara keseluruhan, kita dapat membandingkan nilai rata-rata prestasi kelas yang satu dengan kelas yang lainnya (memperlajari hal yang sama dengan kondisi yang relatif sama juga).
Alternatif kedua di atas hanya dapat menunjukkan kasus-kasus yang diduga mengalami kesulitan belajar dibandingkan prestasi kelompoknya. Sedangkan tingkat penyampaian penguasaan (mastery) dari pelajaran sukar diketahui karena mungkin saja dalam situasi tertentu, nilai prestasi seluruh siswa sekelompok yang bersangkutan berada di bawah angka batas lulus (minimum acceptable performance) menurut criterion-referenced, apalagi kalau kelas lain sebagai pembandingnya tidak ada. Oleh karena itu, kalau kita berorientasi pada mutu pelajaran, mungkin akan lebih cocok menggunakan alternatif yang pertama.
Kasus kesulitan belajar dapat pula kita deteksi dari catatan observasi atau laporan proses kegiatan belajar. Catatan proses belajar tersebut di antaranya: (1) cepat lambatnya (berapa lama) menyelesaikan pekerjaan (ttugasnya); (2) ketekunan atau persistency dalam mengikuti pelajaran  (berapa kali tidak hadir : alpa, sakit, izin); (3) partisipasi atau kontribusinya dalam pemecahan masalah atau mengerjakan tugas kelompok (bagan partisipasi atau participation chart); (4) kemampuan kerja sama dan penyesuaian sosialnya (disenangi dan atau menyenangi orang lain secara sosiometris dapat diketahui), dan sebagainya. Secara lebuh jauh dapat dijelaskan sebagai berikut.
1)      Penggunaan Catatan Waktu Belajar Efektif
Dalam lembaga pendidikan tertentu, untuk bidang studi tertentu , telah mulai diadakan pencatatan waktu yang efektif digunakan oleh siswanya dalam memecahkan soal atau mengerjakan tugas tertentu. Dalam konteks kelas, lazimnya waktu dialokasikan untuk tiap bidang studi dan tiap jam pelajaran tersebut 40-50 menit. Dalam konteks tugas individual ditetapkan berdasarkan perhitungan hari atau mingguan tertentu dengan ditetapkan ancar-ancar batas waktu yang telah ditetapkan, di samping yang selalu tepat waktunya.
Dengan membandingkan durasi (berapa lama terlambatnya) dan frekuensi siswa itu secara kelompok dengan jalan membuat ranking, mulai dari mereka yang paling lambat atau paling sering terlambat dalam penyelesaian soal-soal atau tugas-tugas, kita akan mudah menemukan kasus-kasus yang diduga mengalami kesulitan belajar, berdasarkan indikator keterlambatannya tersebut.
2)      Penggunaan Catatan Kehadiran (Presensi) dan Ketidakhadiran (Absensi)
Pada umumnya, setiap guru sangat memperhatikan pencatatan kehadiran atau ketidakhadiran ini pun merupakan indikator berharga untuk menandai siswa-siswa yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Dengan membuat ranking mulai dari yang paling banyak angka ketidakhadirannya, kita mudah menemukan siapa-siapa siswa yang dapat dijadikan kasus.
Kemungkinan relevansi frekuensi ketidakhadirannnya ini akan tampak dengan kualifikasi prestasinya (kalau hal ini diperhitungkan dalam pemberian angka nilainya).
3)      Penggunaan Catatan atau Bagan Partisipasi (Participation Chart)
Dalam bidang studi tertentu (IPS, Pendidikan Kewarganegaraan dan sebagainya) dimana sangat diutamakan penguasaan komunikasi dan interaksi sosial dalam menyumbangkan pikiran, menyanggah, menjawab dengan argumentasi tertentu, catatan (bagan partisipasi) itu amat berharga. Dengan menghitung frekuensi (tallying) pembicaraan dengan segala kualifikasinya, kita akan memperoleh gambaran berupa banyak aktifitas atau kontribusi serta partisipasi siswa dalam kelompok (kelasnya). Dengan memperhatikan angka-angka frekuensi tersebut, kita dapat menandai siswa mana yang aktif, kontributif, akomodatif, atau pasif saja.Prosedurnya dapat serupa seperti poin 1 dan 2 di atas.
4)      Penggunaan Catatan atau Bagan Sosiometik
Dalam bidang tertentu juga siswa kadang-kadang dituntut untuk bekerja sama dalam kelompoknya. Salah satu kondisi yang perlu ada untuk bekerja sama dalam konteks ini adalah saling menerima, saling percaya, dan saling menyenangi di antara sesame anggotanya dan juga dengan pemimpinnya. Oleh karena itu, catatan atau gambaran tentang kondisi ini (sosiogram) amat penting, dimana siswa yang satu memilih atau dipilih atau tidak memilih dan/atau tidak dipilih oleh siswa yang lain. Dari daftar frekuensi pilihan atau sosiogramnya, kita dapat mengetahui siswa mana yang paling disenangi dan yang mana pula yang paling terisolasi (tiada yang memilih sama sekali).
Adakalanya, siswa menjadi kasus kesulitan belajar berdasarkan analisis prestasi (hasil) belajarnya juga menjadi kasus di dalam hasil analisis terhadap catatan proses belajarnya. Jika hal itu terjadi, indikator menggambarkan secara logis dapat dipahami jika seorang siswa mendapat kesulitan di dalam menjalani proses belajarnya, sehingga hasil belajarny pun akan kurang memadai. Meskipun demikian, hal serupa itu tidak selalu benar. Mungkin saja seorang siswa dilihat dari segi nilai prestasinya tinggi tapi ia merupakan siswa yang terisolasi di kelasnya. Untuk menetapkan prioritas, alangkah baiknya kalau kedua hasil analisis (hasil dan proses belajar) itu dipadukan.Namun, hal itu bukanlah suatru keharusan.
b.      Melokalisasikan Letak Kesulitan Belajar (Permasalahan)
Setelah kita menemukan kelas atau individu yang diduga mengalami kesulitan belajar maka persoalan selanjutnya yang perlu ditelaah :
1.      Dalam mata pelajaran manakah kesulitan itu terjadi ?
Salah satu cara mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu adalah dengan jalan membandingkan nilai prestasi individu yang bersangkutan.
2.      Pada kawasan tujuan belajar yang manakah kesulitan terjadi ?
Mendeteksi pada kawasan tujuan belajar dan bagian ruang lingkup bahan pelajaran mana kesulitan terjadi.
Burton mengatakan bahwa pada langkah ini pendekatan yang paling tepat kalau ada adalah menggunakan tes diagnostik.Jika keadaan belum dapat menyediakan tes diagnostik, maka analisis masih tetap dapat dilangsungkan dengan menggunakan naskah jawaban tes ulangan umum triwulan atau semesteran.
3.      Pada bagian bahan yang manakah kesulitan itu terjadi ?
4.      Dalam segi-segi proses belajar manakah kesulitan itu terjadi ?
Pertanyaan no. 3 dan 4 terkait analisis terhadap catatan mengenai proses belajar. Hasil analisis empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas, ketidakhadiran, kurang aktif dalam partisipasi, kurang penyesuaian sosial sudah cukup jelas menunjukkan posisi dari kasus yang bersangkutan.Tindakan lebih lanjut dapat diteruskan dalam analisis tentang latar belakang atau sebab-sebabnya.
Sebagai catatan umum, langkah butir a dan b di atas dalam pelaksanaannya dapat ditempuh dengan beberapa strategi pendekatan, yaitu :
a.       Dalam konteks sistem instruksional yang konvensional, pelaksanaan pengumpulan informasi dalam rangka mengidentifikasi kasus dan permasalahan ini dapat ditempuh dengan cara :
(1)   Diintegrasikan dengan kegiatan instruksional, dalam pelaksanaan evaluasi reflektif, nomatif,dan sumatif, atau dengan desain pre-post test yang kesemuanya dapat dikaitkan dengan tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi diagnostik, asalkan semua data dan informasi yang diperlukan dapat didokumentasikan (naskah-naskah jawaban siswa) secara tertib.
(2)   Dilakukan secara khusus, dimana tes diagnostik dapat diadmnistrasikan sewaktu-waktu, sesuai dengan keperluan (kalau memang instrumen yang diperlukan sudah tersedia), data dan informasi hasil tes diagnostik sudah barang tentu merupakan bahan yan paling tepat untuk keperluan ini.
b.      Dalam konteks sistem instruksional yang inovatif, sebenarnya pekerjaan diagnostik sudah merupakan hal yang inherent dengan sistem dan program instruksional sendiri, misalnya :
(1)   Dalam sistem pengajaran berprograma (programmed instruction), khususnya yangn menggunakan mesin belajar-mengajar (teaching machine) atau sistem pengajaran berbantuan komputer (CAI, computer assisted instruction), pada hakikatnya proses belajar mengajar merupakan suatu rangkaian diagnostik-remedial, dimana kalau siswa salah memilih suatu alternatif jawaban (tombol mesin) maka secara otomatis akan memperoleh respons (pemberitahuan) salah benarnya performance belajar siswa. kalau jawaban itu benar dapat dlanjutkan dengan program berikutnya, tetapi kalau jawabannya salah atau keliru, ia harus segera memperbaikinya.
(2)   Begitu pula dalam sistem pengajaran modul (modular instructioan system) dimana unit demi unit atau modul demi modul hanya dapat diteruskan dengan modul berikutnya setelah mendapat umpan balik (feed back) dari pekerjaan pada seitap modul atau unit. Kalau unit atau modul itu telah dikerjakan dengan tuntas (mastery) barulah dapat dimulai dengan kelanjutannya. Namun, kalau ternyata terdapat beberapa kesalahan yang harus dikerjakan terlebih dulu adalah program remedial sebagai koreksi terhadap program aslinya, sebelum diperkenankan melanjutkan atau memiliki alternatif lain sebagai program pengayaan (enrichment program).

3.      Mengidentifikasi Faktor Penyebab Kesulitan Belajar
Menurut Loree (1970;121-133) yang mempengaruhi proses belajar-mengajar adalah :
a.       Stimulus atau Learning Variables, mencakup :
1)      Learning experience variables, antara lain mengenai :
a)      Method variables, yang antara lain mencakup :
·         Kuat lemahnya motivasi untuk belajar,
·         Intensif-tidaknya bimbingan guru,
·         Ada tidaknya kesempatan untuk berlatih atau berpraktik,
·         Ada tidaknya upaya dan kesempatan reinforcement.
b)      Task variables, yang mencakup :
·         Menarik tidaknya apa yang harus dipelajari dan dilakukan,
·         Bermakna tidaknya apa yang dipelajari dan dilakukan,
·         Sesuai tidaknya panjang atau luas serta tingkat kesukaran apa yang harus dipelajari dan dikerjakan.
c)      Environmental variables, yang menyangkut iklim belajar yang bergantung pada faktor-faktor :
·         Tersedia tidaknya tempat atau ruangan yang memadai,
·         Cukup tidaknya waktu, serta tepat tidaknya penggunaan waktu tersebut untuk waktu belajar,
·         Tersedia tidaknya fasilitas belajar yang memadai,
·         Harmonis tidaknya hubungan manusiawi baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas.
2)      Organismic Variables yang mencakup :
a)      Characteristic of the learners, antara lain tingkatan intelegensi, usia dan taraf kematangan untuk belajar. Dengan demikian, kelemahan sering disebabkan oleh :
·         Kurangnya kemampuan dan keterampilan kognitif,
·         Terbatasnya kemampuan, menghimpun, dan mengintegrasikan informasi,
·         Kurang gairah belajar karena kurang jelasnya tujuan/aspirasi.
b)      Mediating processes, kondisi yang lazim terdapat dalam diri swasta antara lain intelegensi, persepsi, motivasi, konflik, tekanan batin, dorongan, lapar, takut, cemas, dan sebagainya turut berperan pula dalam proses berprilaku termasuk prilaku belajar.
3)      Response Variables, sebagaimana kkita kelompokkan berdasarkan tujuan pendidikan, yaitu :
a)      tujuan kognitif, seperti pengetahuan, konsep-konsep, keterampilan pemecahan masalah.
b)      tujuan afektif, seperti sikap-sikap, nilai-nilai, minat dan apresiasi. tujuan pola-pola bertindak, antara lain :
·         Keterampilan psikomotorik, seperti menulis, mengetik, kegiatan pendidikan jasmani atau olahraga, melukis dan sebagainya,
·         Kompetensi-kompetensi untuk menyelenggarakan pertemuan, pidato, memimpin diskusi, pertunjukkan dan sebagainya,
·         Kebiasaan-kebiasaan berupa kebiasaan hidup sehat, keamanan, kebersihan, keberanian disertai kesopanan, ketegasan, kejujuran, kerapian, keserasian, dan sebagainya.
Burton (1925:633-640), meskipun menyinggung banyak hal yang bersamaan seperti dikemukakan Loreee, ia mengelompkkan secara sederhana ke dalam dua kategori, yaitu faktor-faktor yang terdapat didalam diri siswa dan diluar diri siswa.
a)      Faktor-faktor yang terdapat dalam diri siswa, antara lain :
(1)   Kelemahan fisik, seperti :
(a)    Suatu pusat susunan syaraftidak berkembang secara sempurna karena luka atau cacat, atau sakit sehingga sering membawa gangguan emosional.
(b)   Pancaindra mungkin berkembang kurang sempurna atau sakit sehingga menyulitkan proses interaksi secara efektif,
(c)    Ketidakseimbangan perkembangan dan reproduksi serta berfungsinya kelenjar-kelenjar tubuh sering membawa kelainan-kelainan prilaku,
(d)   Cacat tubuh atau pertumbuhan yang kurang sempurna, organ dan anggota-anggota badan sering membawa ketidakstabilan mental dan emosional,
(e)    Penyakit menahun menghambat usaha-usaha belajar secra optimal.
(2)   Kelemahan-kelemahan secara mental yang sukar diatasi oleh individu yang bersangkutan dan juga oleh pendidikan, antara lain :
(a)    Kelemahan mental ( taraf kecerdasan memang kurang ),
(b)   Tampaknya seperti kelemahan mental tetapi sebenarnya kurang minat, kebimbangan, kurang usaha, ktivitas yang kurang terarah, kurang semangat, kurang menguasai keterampilan, dan kebiasaan fundamental dalam belajar.
(3)   Kelemahan-kelemahan emosional antara lain :
(a)    Terdapatnya rasa tidak aman,
(b)   Penyesuaian yang salah terhadap orang-orang, situasi, dan tuntutan tugas serta lingkungan,
(c)    Tercekam rasa phobia mekanisme pertahanan diri,
(d)   Ketidakmatangan.
(4)   Kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan dan sikap-sikap yang salah, antara lain :
(a)    Tidak menentu dan kurang menaruh minat dan bakat terhadap pekerjaan sekolah,
(b)   Banyak aktivitas yang bertentangan dan tidak menunjang pekerjaan sekolah, menolak dan malas,
(c)    Kurang berani dan gagal untuk memusatkan perhatian,
(d)   Kurang kooperatif dan menghindari tanggung jawab,
(e)    Sering bolos dan tidak mengikuti pembelajaran,
(f)    Nervous.
(5)   Tidak memiliki keterampilan-keterampilan dan pengetahuan dasar yang tidak diperlukan, seperti :
(a)    Ketidakmampuan membaca, menghitung, kurang menguasai pengetahuan dasar untuk suatu bidang studi yang sedang diikutinya secara sekuensial, kurang menguasainya bahasa,
(b)   Memiliki kebiasaan belajar dan bekerja yang salah.
b.      Faktor – faktor yang terletak di luar diri siswa (situasi sekolah dan masyarakat), antara lain:
1)      kurikulum yang seragam (uniform), bahan dan buku – buku sumber yang tidak sesuai dengan tingkat – tingkat kematangan dan perbedaan - perbedaan individu;
2)      ketidaksesuaian standar administratif (sistem pengajaran), penilaian, pengelolaan kegiatan dan pengalaman belajar-mengajar, dan sebagainya;
3)      terlalu berat beban belajar siswa dan atau beban mengajar guru;
4)      terlalu besar populasi siswa dalam kelas, terlalu banyak menuntut kegiatan di luar, dan sebagainya;
5)      terlalu sering pindah sekolah atau program, tinggal kelas, dan sebagainya;
6)      kelemahan dari sistem belajar-mengajar pada tingkat – tingkat pendidikan (dasar/asal) sebelumnya;
7)      kelemahan yang terdapat dalam kondisi rumah tangga (pendidikan, status sosial ekonomis, keutuhan keluarga, besarnya anggota keluarga, tradisi dan kultur keluarga, ketentraman dan keamanan sosial psikologis, dan sebagainya);
8)      terlalu banyak kegiatan di luar jam pelajaran sekolah atau terlalu banyak yang terlibat dalam kegiatan ekstrakulikuler;
9)      kekurangan makan (gizi, kalori, dan sebagainya).
Bruner and Bruner (1972) yang melakukan studi terhadap masalah putus sekolah (drop outs) di Indonesia, dari segi tinjauan antropologis ternyata menemukan kelemahan – kelemahan kultural yang fundamental, antara lain:
1)      pandangan masyarakat (orangtua) yang salah terhadap pendidikan;
2)      falsafah hidup yang cepat puas, tidak memiliki motif berprestasi (n-Ach);
3)      tradisi hidup sosial dan ekonomi yang terbelakang.
Kalau kita hubungkan dengan contoh – contoh kasus kita pada butir kedua di atas, dapat diartikan sebagai berikut ini.
1)      Kalau kasus yang mengalami kelemahan itu berupa kelas kelompok siswa secara keseluruhan, besar kemungkinan kelemahan itu bukan bersumber pada kelemahan siswa secara individual. Di antara sumber – sumber yang paling mungkin dari kelemahan itu, antara lain:
a)      kondisi sekolah yang diakibatkan oleh kualifikasi guru yang kurang memadai syarat (pendidikan atau kepribadian), sistem belajar-mengajar yang digunakan, sistem penilaian yang dipakai, bahan dan sumber yang langka atau using (out of date), dan sebagainya;
b)      manajemen kelas dan sekolah yang kurang sesuai;
c)      letak sekolah (school site) yang terlalu terasing / terisolasi atau terganggu oleh kesibukan lain.
2)      Kalau kasus berupa individu – individu siswa mengalami kelemahan dalam bidang studi tertentu atau secara keseluruhan atau sebagian besar dari prestasinya, mungkin bersumber pada kelemahan dasar intelektual, emosional, kebiasaan belajar, perlakuan guru terhadapnya, dan sebagainya seperti diterangkan di atas.
Cara yang dapat kita tempuh untuk menghimpun berbagai informasi guna menemukan sumber kelemahan belajar itu secara definitif, tentu dapat bermacam jalan kita gunakan, antara lain:
1)      Untuk membuktikan bahwa kelemahan itu bersumber pada kelemahan dasar belajar (intelegensi atau bakat) maka cara yang paling tepat ialah:
a)      mengadakan tes intelegensi sehingga diperoleh indeks atau ukuran tingkat intelegensinya (IQ);
b)      mengadministrasikan tes bakat (aptitude test) sehingga ditemukan pula indeks atau ukuran kecenderungan bakatnya (bilangan, bahasa, sosial motoris,dan sebagainya);
c)      analisis atas catatan prestasi belajarnya secara historis - komparatif (teknik studi kasus atau case history) dengan jalan membandingkannya.
(a)    Prestasi studi siswa secara keseluruhan atau dalam bidang-bidang studi tertentu dari tahun ke tahun atau dari tingkat ke tingkat (SD-SMP-SMA dan seterusnya; I-II-III dan seterusnya) sehingga diperoleh grafik yang memberikan gambaran kecenderungan prestasinya dari waktu ke waktu, jika memang garis kecenderungan prestasi itu:
(1)   hampir mendatar maka dapat kita interpretasikan bahwa besar kemungkinan secara potensial lemah, tetapi kalai
(2)   bersifat naik turun (fluctuation) maka kelemahan itu bersifat tradisional, yang berarti sumber lainnya (guru, bahan, metode, dan sebagainya) masih harus terus kita cari lebih lanjut.
(b)   Prestasi siswa dari kelompok bidang studi tertentu atau dengan bidang studi atau kelompok bidang studi lainnya maka jika ternyata kita temukan:
(1)   bahwa siswa mengalami kelemahan dalam bidang-bidang studi yang termasuk dalam group factors tertentu (IPA, IPS, Bahasa, dan sebagainya) dapat kita tafsirkan siswa yang bersangkutan mengalami kelemahan dalam aspek bakat khusus; tetapi jika kelemahan itu ternyata
(2)   menyebar (tidak berpola) atau hanya dalam suatu bidang studi tertentu maka dalam hal ini dapat kita tafsirkan bukanlah karena faktor bakat, namun kemungkinan sumber lain (emosional hubungan siswa-guru, dan sebagainya) yang masih harus kita cari.
2)      Untuk membuktikan kelemahan yang ternyata bukan bersifat potensial, dapat dipergunakan pula berbagai teknik pendekatan, antara lain:
a)      inventory (daftar cek, checklist) untuk mendeteksi kebiasaan – kebiasaan belajar yang salah;
b)      skala sikap (attitude rating scale) untuk mendeteksi sikap-sikap belajar yang salah;
c)      observasi yang terarah untuk mendeteksi pola-pola performance, siswa dan guru di dalam situasi yang aktual;
d)     analisis respons siswa dalam interaksi belajar-mengajar di kelas atau wawancara khusus dengan siswa;
e)      analisis hasil pekerjaan tertulis (written product analysis) seperti lembaran pekerjaan berhitung, bahasa, karangan, laporan, dikte, dan sebagainya sehingga dapat kita temukan apakah kelemahan itu karena kurang memahami konsep (prinsip) prosedur/cara kerja, kelalaian saja, dan sebagainya.
3)      Untuk mendapatkan data dan informasi lainnya yang berkaitan dengan segi-segi kesehatan fisik atau psikisnya, latar belakang keluarga, penyesuaian sosial, dan sebagainya, gutu tentu dapat mengadakan kerja sama dengan wali kelas, guru pembimbing (konselor, dokter, dan sebagainya) sehingga kesimpulan dan tafsiran yang dapat kita tarik lebih lengkap dan meyakinkan, baik bagi siswa maupun bagi orangtuanya atau pihak berkepentingan lainnya.














BAB III
PENUTUP
1.      Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah tertulis sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa diagnostik kesulitan belajar merupakan langkah awal dari sebuah proses bimbingan belajar, agar proses pemberian bimbingan bisa tepat sasaran. Adapun hal yang didiagnosis adalah keseluruhan elemen dari proses pembelajaran, diantaranya nilai, prestasi, kehadiran dan partisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Lebih jauh, kita dapat menggali faktor-faktor penyebab dari kesulitan belajar secara mendalam.
II. Rekomendasi
            Adapun rekomendasi bagi pembaca ataupun pembuat makalah selanjutnya yang serupa, diantaranya:
a.       Lakukanlah praktek ke lapangan dalam rangka mendiagnosis kesulitan belajar siswa, karena kebenaran teori tak selalu menjadi kebenaran dalam praktek nyatanya.
b.      Dapat lebih memperdalam materi dengan memperbanyak referensi.






DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Abin (2005). PSIKOLOGI PENIDIKAN. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset.