PERNYATAAN SIKAP
TERHADAP PENGESAHAN UNDANG-UNDANG INTELIJEN NEGARA OLEH DPR
DPR SANGAT TELEDOR MENGESAHKAN UU INTELIJEN NEGARA
Tepatnya tanggal 11 Oktober 2011 DPR telah mengesahkan Undang-Undang
Intelijen melalui sidang paripurna. Meski sudah banyak mengalami
perubahan dari naskah aslinya,namun Undang-Undang tersebut sebenarnya
masih jauh dari kata layak dan sempurna. Layak dan sempurna disini maksudnya layak
dan sempurna dari segi pandang semua kalangan,baik pemerintah,maupun masyarakat
guna kelancaran pengurusan negara. Undang-Undang tersebut nyatanya masih memuat banyak aturan-aturan dan
pasal-pasal yang masih multitafsir alias pasal karet dan masih perlu dikaji dan
direvisi lebih lanjut. Hal tersebut membawa kontroversi dan kekhawatiran publik
akan wewenang badan terkait jika Undang-Undang tersebut benar-benar disahkan
dan diberlakukan.
Pertama, RUU Intelijen tidak mengatur secara rinci
tentang kategori rahasia intelijen yang menjadi bagian dari rahasia negara
(Pasal 25 – Pasal 26 junto Pasal 44 –
Pasal 45). Tidak adanya kategori yang rinci tentang rahasia intelijen seperti
dalam frase “membahayakan ketahanan dan keamanan Negara” ,”mengungkapkan
kekayaan alam Indonesia” dan seterusnya yang menjadi rahasia negara,yang berpotensi
untuk ditafsirkan secara luas dan sepihak oleh pihak penguasa dan mengancam
kebebasan informasi dan kebebasan pers.
Kedua, RUU Intelijen juga belum
mengatur mengenai mekanisme komplain oleh agen intelijen kepada komisi
intelijen parlemen secara tertutup apabila terdapat perintah dari atasan kepada
agen intelijen yang secara nyata perintah itu bertentangan dengan HAM dan
melawan hukum. Pengaturan mekanisme komplain ini menjadi penting untuk
meminimalisasi terjadinya penyimpangan yang dilakukan oleh intelijen. RUU ini
juga belum mengatur mengenai mekanisme kontrol terhadap Badan Intelijen Negara itu sendiri. Padahal hal itu sangat penting guna
menjaga akuntabilitas dan profesionalitas badan tersebut. UU Intelijen sangat
rentan sekaligus erat kaitannya dengan urusan kebebasan sipil dan kebebasan
serta hak masyarakat menerima informasi. Jadi seharusnya mekanisme kontrol
terhadap BIN, dan sanksi bagi para anggotanya yang menyalahgunakan wewenang,
perlu diatur dengan rinci.
Ketiga, UU Intelijen membolehkan BIN melakukan penyadapan atau
menintersepsi komunikasi kepada orang yang dicurigai atau menjadi target
operasi intelijen (Pasal 32) . Namun UU tersebut tidak mengatur lebih lanjut
mekanisme penyadapan dan tidak mencantumkan bentuk pertanggungjawaban jika
salah sadap. Wewenang ini juga rentan disalahgunakan penguasa guna memata-matai
komunikasi rakyat demi kepentingan jabatan dan kekuasaan. Hal ini mengancam
kaum aktivis dan kaum-kaum yang selama ini selalu kritis terhadap pemerintah.
Mungkin untuk masyarakat yang awam akan hukum,dampak dari
pasal-pasal karet itu tidak langsung terasa dan disadari, tapi kita selaku agen pengubah
bangsa wajib untuk mengkritisi hal tersebut. Kita wajib mengubah kebiasaan DPR
dalam merancang dan mengesahkan suatu hukum. Hukum bukan mainan anak TK, hukum bukanlah kue yang bisa
diperjualbelikan. Hukum juga bukan sekedar tulisan diatas kertas dengan
kata-kata indah yang terlihat
tegas. Tapi hukum adalah peraturan yang harus dijalankan. Sangat ironis dan
menyedihkan jika hukum ini dibuat dengan asal-asalan, tanpa adanya
pertimbangan yang matang dan juga mengesampingkan begitu saja aspirasi rakyat.
Masih
ingatkah dengan kasus seorang nenek berumur 55 tahun yang benama Minah yang
harus di-meja hijau-kan hanya karena mengambil tiga buah kakao (Banyumas,11/2009)
yang kemudian dengan susahnya harus memperjuangkan hak dan perlindungan dari
pemerintah. Apa Itu yang namanya HUKUM? Apa itu yang namanya KEADILAN? Atau
masih ingatkah dengan kasus Prita Mulyasari yang juga harus mencoba dinginya
jeruji besi hanya mencoba berbagi cerita dengan temannya melalui email namun dianggap melanggar
peraturan. Kasus seperti ini tidak akan terjadi jika Undang-Undang ITE yang pada
saat itu menjadi dasar hukum untuk menjerat Prita tidak MULTITAFSIR dan MEMUAT
PASAL - PASAL KARET. Semua kasus-kasus tersebut sangat bertolak belakang dengan
kasus Gayus Tambunan atau kasus Bank Century yang belum juga memberikan titik
terang dan belum jelas ujungnya. Sebenarnya jika intelijen bekerja dengan
efektif dan sungguh ,kasus seperti Gayus Tambunan, Century atau kasus yang
lebih besar dari itu akan lebih cepat selesai dan lebih cepat menjadi terang
benderang. Namun lihat sekarang, kasus tersebut menguap begitu saja tanpa
adanya kejelasan sudah sampai mana kinerja institusi yang menanganinya ( Polri,
Kejaksaan, KPK dan DPR tentunya ). Apakah hukum di Indonesia ini baknya seperti
pisau, yang hanya tajam di bawah namun tumpul diatas? Apakah hukum di Indonesia
ini takut terhadap kekuasaan tinggi namun sangat ganas jika berhadapan dengan
rakyat kecil? Lalu masih bisakah hukum itu disebut “BUTA” dan disebut “ADIL”?
dan sekarang DPR telah menambah satu lagi daftar hitam hukum di Indonesia dengan mengesahkan satu Undang-Undang yang
jelas-jelas banyak memuat pasal-pasal karet dan multitafsir. Sebuah undang-undang
yang sangat rentan bergesekan dengan HAM. Apakah DPR Ingin Indonesia ini
kembali ke zaman kelam Orde Baru dimana kebebasan pers dan berpendapat
dibelenggu? apakah DPR
ingin Indonesia kembali ke rezim yang represif itu?
Dengan berbagai
fakta dan pertimbangan di atas, maka kami atas nama seluruh mahasiswa Fisika
UPI mewakili sebagian masyarakat menyatakan bahwa :
DPR SANGAT TELEDOR telah MENGESAHKAN UNDANG-UNDANG INTELIJEN NEGARA yang nyatanya membuat keresahan publik dengan ketidakjelasan aturan
yang dimuat didalamnya.
dan sekarang
juga kami meminta agar SEGERA REVISI
UNDANG-UNDANG TERSEBUT dan TUNDA
PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG TERSEBUT .
Bandung, 27 Nopember
2011
Atas Nama Peserta LKM HMF FPMIPA UPI 2011