PRINSIP DASAR DIAGNOSTIK KESULITAN BELAJAR
MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian
Tugas Mata Kuliah Bimbingan dan Konseling
Oleh
1.
Apriandi
2.
Elderana
Fathanmubina
3.
Sitti
Aisyah
4.
Sri
Mulyani
5.
Ugi
Supriatna
JURUSAN PENDIDIKAN FISIKA
FAKULTAS PENDIDIKAN MATEMATIKA DAN
ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Pendidikan adalah
usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar
dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan
potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,serta keterampilan yang diperlukandirinya,
masyarakat, bangsa dan
negara.(Undang-Undang Sistem
Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003). Tujuan pendidikan secara definitif
adalah memanusiakan manusia yang didalamnya memuat kegiatan interaksi antara
pendidik dan peserta didik yang meliputi transfer materi pembelajaran dan
pengalaman yang bertujuan untuk memanusiakan manusia itu sendiri. Dalam proses
belajar mengajar tersebut yang menjadi objeknya adalah siswa atau peserta
didik.
Fokus
utama dari sebuah pendidikan adalah bagaimana mendidik dan mengarahkan peserta
didik sesuai dengan tujuan pendidikan demi mencapai esensi pendidikan itu
sendiri. Terlepas dari itu semua
Berangkat
dari itu semua, diperlukan suatu sistem bimbingan untuk mengatasi permasalahan
tersebut yang pastinya menjadi sebuah kesulitan dalam proses pembelajaran, dan
pastinya hal pertama untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah mengdiasnosis
permasalahan itu. Dari uraian di atas, maka penulis menuangkan hal tersebut
dalam makalah ini, namun dalam batasan mengenai “Prinsip Dasar Diagnostik
Kesulitan Belajar”.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat dirumuskan
sebaga berikut :
a. Apa
prinsip dasar diagnostik kesulitan belajar?
b. Bagaimana
mengidentifikasi kasus kesulitan belajar?
c. Bagaimana
mengidentifikasi faktor penyebab kesulitan belajar?
3.
Tujuan
Penulisan Makalah
Adapun
tujuan penulisan makalah ini adaalh untuk mengidentifikasi, menemukan dan
menganalisis satu bahasan mengenai diagnostis kesulitan belajar.
4.
Manfaat Penulisan Makalah
Denganadanyamakalahini,penulisberharaphasilpembahasan
yang adadapat menjadi pengetahuan baru untuk pembaca mengenai prinsip dasar
diagnostik kesulitan belajar.Pemahaman yang tumbuh penulis harapakan menjadi bekal
kedepannya jika nantinya kita menjadi seorang konselor pendidikan.
5.
Metode Pengkajian Masalah
Makalah ini disusun berdasarkan
hasil kajian pustakayang telah dilakukan oleh penulis.
BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Konsep Dasar Diagnostik Kesulitan Belajar
a. Pengertian Diagnostik
Diagnosis merupakan istilah teknis (terminology) yang kita adopsi dari
bidang medis. Menurut Thorndike dan Hagen (1955:530-532), diagnosis dapat di
artikan sebagai berikut :
1)
Upaya
atau proses menemukan kelemahan atau penyakit apa yang dialami seseorang dengan
melalui pengujian dan studi yang saksama mengenai gejala-gejalanya.
2)
Studi
yang saksama terhadap fakta tentang suatu hal untuk menemukan karakteristik
atau kesalahan-kesalahan dan sebagainya yang esensial.
3)
Keputusan
yang dicapai setelah dilakukan studi secara sakasama atas gejala-gejala atau
fakta tentang suatu hal.
Dilihat dari ketiga definisi di
atas, diagnosis ternyata bukan hanya mengidentifikasi, tetapi juga memutuskan
prediksi kemungkinan-kemungkinan untuk menyarankan cara pemecahannya.
b.
Pengertian
Kesulitan Belajar
Menurut Burton (1952 : 622-624)
mengidentifikasi seorang siswa dapat dipandang atau dapat diduga mengalami
kesulitan belajar jika yang bersangkutan menunjukkan kegagalan tertentu dalam
mencapai tujuan-tujuan belajarnya. Kegagalan belajar didefinisikan sebagai
berikut :
1) Siswa dikatakan gagal apabila dalam
batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak mecapai ukuran tingkat
keberhasilan atau tingkat penguasaan minimal dalam pelajaran tertentu, seperti
yang telah ditetapkan oleh orang dewasa atau guru. Kasus siswa semacam ini
dapat digolongkan ke dalam lower group.
2) Siswa dikatakan gagal apabila yang
bersangkutan tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi yang semestinya. Ia
diramalkan akan dapat mengerjakannya atau mencapai suatu prestasi, namun
ternyata tidak sesuai dengan kemampuannya.Kasus siswa semacam ini dapat
digolongkan ke dalam under archievers.
3) Siswa dikatakan gagal kalau
yang bersangkutan tidak dapat mewujudkan tugas-tugas perkembangan, termasuk
penyersuaian sosial sesuai dengan pola organismiknya pada fase perkembangan
tertentu, seperti yang berlaku bagi kelompok sosial dan usia yang bersangkutan.Kasus
siswa semacam ini dapat digolongkan ke dalam slow learners.
4) Siswa dikatakan gagal kalau yang
bersangkutan tidak berhasil mencapai tingkat penguasaan yang diperlukan sebagai
prasyarat bagi kelanjutan pada tingkat pelajaran berikutnya.Kasus siswa semacam
ini dapat digolongkan ke dalam slow
learners atau belum matang sehingga mungkin harus mengulang
Berdasarkan pengertian diagnosis dan
kesulitan belajar di atas, dapat disimpulkan diagnostik kesulitan belajar
sebagai suatu proses atau upaya untuk memahami jenis dan karakteristik serta
latar belakang kesulitan-kesulitan belajar dengan menghimpun dan mempergunakan
berbagai data/informasi selengkap dan seobjektif mungkin sehingga memungkinkan
untuk mengmbil kesimpulan dan keputusan serta mencari alternative kemungkinan
pemecahannya.
c.
Prosedur dan Teknik Diagnostik Kesulitan Belajar
Secara umum langkah – langkah
pelansanaan diagnostic kesulitan belajar selaras dengan langkah – langkah
pelaksanaan bimbingan belajar, namun secara khusus, langkah – langkah
diagnostik kesulitan belajar itu dapat diperinci lebih lanjut.
Ross dan Stanley (1956 : 332-341)
menggariskan tahapan diagnosis sebagai berikut:
Dari skema tersebut, tampak bahwa
keempat langkah yang pertama dari diagnosis itu merupakan usaha perbaikan atau
penyembuhan.Sedangkan langkah yang kelima merupakan usaha pencegahan.
Burton (1952 : 640-652) menggariskan
agak lain, yaitu berdasarkan kepada teknik dan instrumen yang digunakan dalam
pelaksanaannya sebagai berikut :
1) General Diagnostic
Pada tahap
ini lazim digunakan tes baku, seperti yang digunakan untuk evaluasi dan
pengukuran psikoligis dan hasil belajar. Sasarannya, untuk menemukan siapakah
siswa yang diduga mengalami kelemahan tersebut.
2) Analystic diagnostic
Pada tahap
ini yang lazimnya digunakan adalah tes diagnostic.Sasarannya, untuk mengetahui
dimana letak kelemahan tersebut.
3) Psychological diagnostic
Pada tahap
ini teknik pendekatan dan instrument yang digunakan antara lain :
a)
Observasi
b)
Analisis
karya tulis
c)
Analisis
proses dan respons lisan
d) Analisis berbagai catatan objektif
e)
Wawancara
f)
Pendekatan
laboratorium dan klinis
g)
Studi
kasus
Dari kedua model pola pendekatan di
atas, Prof. Dr. H. Abin Syamsudin Makmun, M. A. menjabarkannya ke dalam suatu
pola pendekatan operasional sebagai berikut :
2. Mengidentifikasi Kasus Kesulitan
Belajar
a. Menandai
Siswa yang Diduga Mengalami Kesulitan Belajar
Jika
suatu kelompok siswa yang terdistribusi normal, sudah dapat diperkirakan ada
sejumlah kasus hipotetik kesulitan belajar sekitar 10-25% dari keseluruhan
populasi kelompok tersebut.Yang menjadi persoalan sekarang ialah bagaimana
caranya membuktikan kasus tersebut di dalam prakteknya. Dengan kata lain,
siapa-siapa siswa di dalam kenyataannya yang memerlukan bantuan itu.
Dengan
menghimpun dan menganalisis catatan-catatan hasil belajarnya serta menafsirkan
dengan cara tertentu, kita akan menemukan kasus termaksud. Dalam menafsirkan
data hasil belajar tersebut dapat dipergunakan criterion-referenced atau norm-referenced
(PAP atau PAN).
Jika
kita menggunakan citerion-referenced (PAP)
dengan berasumsi bahwa instrument evaluasi atau soal yang kita pergunakan telah
dikembangkan dengan memenuhi syarat, caranya dapat kita tempuh dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
1) Tetapkan
angka kualifikasi minimal yang dapat diterima sebagai batas lulus (passing grade) atau jumlah kesalahan
minimal yang masih dapat ditoleril dalam suatu penilaian. Ketentuannya, menurut
kebijakan guru yang bersangkutan.
2) Kemudian
bandingkan angka nilai (prestasi) dari setiap siswa dengan angka nilai batas
lulus tersebut. Catatlah siswa-siswa mana yang nilai prestasinya berada di
bawah nilai batas lulus tersebut. Secara teoritis, mereka yang angka nilai
prestasinya berada di bawah batas lulus , sudah dapat diduga sebagai siswa yang
mengalami kesulitan dalam belajarnya.
3) Himpunlah
semua siswa yang angka nilai prestasinya di bawah nilai batas lulus tersebut.
Kesemuanya mungkin akan merupakan sebagian besar (mayoritas), seimbang (fifty-fifty), sebagian kecil (minoritas)
dibandingkan keseluruhan kelompoknya.
4) Jika
ingin mengadakan prioritas layanan kepada mereka yang diduga paling berat
kesulitannya atau paling banyak membuat kesalahan, seyogyanya kita membuat ranking, dengan langkah-langkah sebagai
berikut.
a) Pertama,
selisihkan angka nilai prestasi setiap siswa (kasus) dengan angka nilai passing grade (batas lulus) itu sehingga
akan diperoleh angka selisih (deviasi)-nya.
b) Susunlah
daftar kasus tersebut dari mulai dengan siswa yang angka selisihnya paling
besar.
Dengan
cara di atas maka kita dapat menandai:
a) kelas atau kelompok siswa tertentu
sebagai kasus, jika kita teliti ternyata mayoritas dari
populasi kelas atau kelompok tersebut nilai prestasinya di bawah nilai batas
lulus;
b) individu – individu siswa sebagai
kasus, jika ternyata hanya sebagian kecil (minoritas) dari
populasi kelas yang memperoleh angka nilai prestasi di bawah batas lulus;
bahkan lebih lanjut sudah ditandai pula siswa mana yang diprioritaskan perlu
dibantu (berdasarkan ranking, urutan
tingkat kelemahannya).
Dengan
hasil penandaan itu maka dapat dikatakan bahwa kelas atau individu – individu
tersebut memerlukan bimbingan belajar karena prestasinya belum memenuhi apa
yang diharapkan.
Alternatif
kedua, kita menggunakan norm-references (PAN)
dimana nilai prestasi rata-rata yang dijadikan ukuran pembanding bagi setiap
nilai prestasi siswa secara individual. Langkah-langkahnya pada prinsipnya sama
saja dengan metode criterion-references (PAP),
tetapi teknisnya berbeda, sebagai berikut.
1) Cari
atau hitunglah nilai rata-rata kelas atau kelompok.
2) Tandailah
siswa-siswa yang angka nilai prestasinya berada di bawah rata-rata prestasi
kelasnya.
3) Jika
ingin diadakan prioritas layanan bimbingan, buatlah ranking dengan menghitung angka selisih atau deviasi nilai prestasi
individu dengan angka nilai rata-rata prestasi kelasnya.
Dengan
jalan demikian, maka kita akan mendapatkan sejumlah kasus yang diduga mengalami
kesulitan belajar karena jauh berbeda dibandingkan rata-rata prestasi kelasnya.
Jika ingin memperoleh gambaran tentang kualifikasi kelas yang bersangkutan
secara keseluruhan, kita dapat membandingkan nilai rata-rata prestasi kelas
yang satu dengan kelas yang lainnya (memperlajari hal yang sama dengan kondisi
yang relatif sama juga).
Alternatif
kedua di atas hanya dapat menunjukkan kasus-kasus yang diduga mengalami kesulitan
belajar dibandingkan prestasi kelompoknya. Sedangkan tingkat penyampaian
penguasaan (mastery) dari pelajaran
sukar diketahui karena mungkin saja dalam situasi tertentu, nilai prestasi
seluruh siswa sekelompok yang bersangkutan berada di bawah angka batas lulus (minimum acceptable performance) menurut criterion-referenced, apalagi kalau
kelas lain sebagai pembandingnya tidak ada. Oleh karena itu, kalau kita
berorientasi pada mutu pelajaran, mungkin akan lebih cocok menggunakan
alternatif yang pertama.
Kasus
kesulitan belajar dapat pula kita deteksi dari catatan observasi atau laporan
proses kegiatan belajar. Catatan proses belajar tersebut di antaranya: (1)
cepat lambatnya (berapa lama) menyelesaikan pekerjaan (ttugasnya); (2)
ketekunan atau persistency dalam
mengikuti pelajaran (berapa kali tidak
hadir : alpa, sakit, izin); (3) partisipasi atau kontribusinya dalam pemecahan
masalah atau mengerjakan tugas kelompok (bagan partisipasi atau participation chart); (4) kemampuan
kerja sama dan penyesuaian sosialnya (disenangi dan atau menyenangi orang lain
secara sosiometris dapat diketahui), dan sebagainya. Secara lebuh jauh dapat
dijelaskan sebagai berikut.
1)
Penggunaan
Catatan Waktu Belajar Efektif
Dalam
lembaga pendidikan tertentu, untuk bidang studi tertentu , telah mulai diadakan
pencatatan waktu yang efektif digunakan oleh siswanya dalam memecahkan soal
atau mengerjakan tugas tertentu. Dalam konteks kelas, lazimnya waktu
dialokasikan untuk tiap bidang studi dan tiap jam pelajaran tersebut 40-50
menit. Dalam konteks tugas individual ditetapkan berdasarkan perhitungan hari
atau mingguan tertentu dengan ditetapkan ancar-ancar batas waktu yang telah
ditetapkan, di samping yang selalu tepat waktunya.
Dengan
membandingkan durasi (berapa lama terlambatnya) dan frekuensi siswa itu secara
kelompok dengan jalan membuat ranking, mulai
dari mereka yang paling lambat atau paling sering terlambat dalam penyelesaian
soal-soal atau tugas-tugas, kita akan mudah menemukan kasus-kasus yang diduga
mengalami kesulitan belajar, berdasarkan indikator keterlambatannya tersebut.
2)
Penggunaan
Catatan Kehadiran (Presensi) dan Ketidakhadiran (Absensi)
Pada
umumnya, setiap guru sangat memperhatikan pencatatan kehadiran atau
ketidakhadiran ini pun merupakan indikator berharga untuk menandai siswa-siswa
yang diduga mengalami kesulitan belajar.
Dengan
membuat ranking mulai dari yang
paling banyak angka ketidakhadirannya, kita mudah menemukan siapa-siapa siswa
yang dapat dijadikan kasus.
Kemungkinan
relevansi frekuensi ketidakhadirannnya ini akan tampak dengan kualifikasi
prestasinya (kalau hal ini diperhitungkan dalam pemberian angka nilainya).
3)
Penggunaan
Catatan atau Bagan Partisipasi (Participation Chart)
Dalam
bidang studi tertentu (IPS, Pendidikan Kewarganegaraan dan sebagainya) dimana
sangat diutamakan penguasaan komunikasi dan interaksi sosial dalam
menyumbangkan pikiran, menyanggah, menjawab dengan argumentasi tertentu,
catatan (bagan partisipasi) itu amat berharga. Dengan menghitung frekuensi (tallying) pembicaraan dengan segala
kualifikasinya, kita akan memperoleh gambaran berupa banyak aktifitas atau
kontribusi serta partisipasi siswa dalam kelompok (kelasnya). Dengan
memperhatikan angka-angka frekuensi tersebut, kita dapat menandai siswa mana
yang aktif, kontributif, akomodatif, atau pasif saja.Prosedurnya dapat serupa
seperti poin 1 dan 2 di atas.
4)
Penggunaan
Catatan atau Bagan Sosiometik
Dalam
bidang tertentu juga siswa kadang-kadang dituntut untuk bekerja sama dalam
kelompoknya. Salah satu kondisi yang perlu ada untuk bekerja sama dalam konteks
ini adalah saling menerima, saling percaya, dan saling menyenangi di antara
sesame anggotanya dan juga dengan pemimpinnya. Oleh karena itu, catatan atau
gambaran tentang kondisi ini (sosiogram) amat penting, dimana siswa yang satu
memilih atau dipilih atau tidak memilih dan/atau tidak dipilih oleh siswa yang
lain. Dari daftar frekuensi pilihan atau sosiogramnya, kita dapat mengetahui
siswa mana yang paling disenangi dan yang mana pula yang paling terisolasi
(tiada yang memilih sama sekali).
Adakalanya,
siswa menjadi kasus kesulitan belajar berdasarkan analisis prestasi (hasil)
belajarnya juga menjadi kasus di dalam hasil analisis terhadap catatan proses
belajarnya. Jika hal itu terjadi, indikator menggambarkan secara logis dapat
dipahami jika seorang siswa mendapat kesulitan di dalam menjalani proses
belajarnya, sehingga hasil belajarny pun akan kurang memadai. Meskipun
demikian, hal serupa itu tidak selalu benar. Mungkin saja seorang siswa dilihat
dari segi nilai prestasinya tinggi tapi ia merupakan siswa yang terisolasi di
kelasnya. Untuk menetapkan prioritas, alangkah baiknya kalau kedua hasil
analisis (hasil dan proses belajar) itu dipadukan.Namun, hal itu bukanlah
suatru keharusan.
b. Melokalisasikan
Letak Kesulitan Belajar (Permasalahan)
Setelah
kita menemukan kelas atau individu yang diduga mengalami kesulitan belajar maka
persoalan selanjutnya yang perlu ditelaah :
1.
Dalam mata pelajaran manakah kesulitan
itu terjadi ?
Salah
satu cara mendeteksi kesulitan belajar pada bidang studi tertentu adalah dengan
jalan membandingkan nilai prestasi individu yang bersangkutan.
2.
Pada kawasan tujuan belajar yang manakah
kesulitan terjadi ?
Mendeteksi
pada kawasan tujuan belajar dan bagian ruang lingkup bahan pelajaran mana
kesulitan terjadi.
Burton
mengatakan bahwa pada langkah ini pendekatan yang paling tepat kalau ada adalah
menggunakan tes diagnostik.Jika keadaan belum dapat menyediakan tes diagnostik,
maka analisis masih tetap dapat dilangsungkan dengan menggunakan naskah jawaban
tes ulangan umum triwulan atau semesteran.
3. Pada
bagian bahan yang manakah kesulitan itu terjadi ?
4. Dalam
segi-segi proses belajar manakah kesulitan itu terjadi ?
Pertanyaan
no. 3 dan 4 terkait analisis terhadap catatan mengenai proses belajar. Hasil
analisis empiris terhadap catatan keterlambatan penyelesaian tugas,
ketidakhadiran, kurang aktif dalam partisipasi, kurang penyesuaian sosial sudah
cukup jelas menunjukkan posisi dari kasus yang bersangkutan.Tindakan lebih
lanjut dapat diteruskan dalam analisis tentang latar belakang atau
sebab-sebabnya.
Sebagai
catatan umum, langkah butir a dan b di atas dalam pelaksanaannya dapat ditempuh
dengan beberapa strategi pendekatan, yaitu :
a. Dalam konteks sistem instruksional yang konvensional,
pelaksanaan pengumpulan informasi dalam rangka mengidentifikasi kasus dan
permasalahan ini dapat ditempuh dengan cara :
(1)
Diintegrasikan
dengan kegiatan instruksional, dalam pelaksanaan evaluasi reflektif,
nomatif,dan sumatif, atau dengan desain pre-post test yang kesemuanya dapat
dikaitkan dengan tujuan-tujuan dan fungsi-fungsi diagnostik, asalkan semua data
dan informasi yang diperlukan dapat didokumentasikan (naskah-naskah jawaban
siswa) secara tertib.
(2) Dilakukan secara khusus, dimana tes diagnostik dapat
diadmnistrasikan sewaktu-waktu, sesuai dengan keperluan (kalau memang instrumen
yang diperlukan sudah tersedia), data dan informasi hasil tes diagnostik sudah
barang tentu merupakan bahan yan paling tepat untuk keperluan ini.
b.
Dalam konteks
sistem instruksional yang inovatif, sebenarnya pekerjaan diagnostik sudah
merupakan hal yang inherent dengan sistem dan program instruksional sendiri,
misalnya :
(1) Dalam sistem pengajaran berprograma (programmed instruction), khususnya yangn
menggunakan mesin belajar-mengajar (teaching machine) atau sistem pengajaran
berbantuan komputer (CAI, computer
assisted instruction), pada hakikatnya proses belajar mengajar merupakan
suatu rangkaian diagnostik-remedial, dimana kalau siswa salah memilih suatu
alternatif jawaban (tombol mesin) maka secara otomatis akan memperoleh respons
(pemberitahuan) salah benarnya performance belajar siswa. kalau jawaban itu
benar dapat dlanjutkan dengan program berikutnya, tetapi kalau jawabannya salah
atau keliru, ia harus segera memperbaikinya.
(2) Begitu pula dalam sistem pengajaran modul (modular instructioan system) dimana unit
demi unit atau modul demi modul hanya dapat diteruskan dengan modul berikutnya
setelah mendapat umpan balik (feed back)
dari pekerjaan pada seitap modul atau unit. Kalau unit atau modul itu telah
dikerjakan dengan tuntas (mastery)
barulah dapat dimulai dengan kelanjutannya. Namun, kalau ternyata terdapat
beberapa kesalahan yang harus dikerjakan terlebih dulu adalah program remedial
sebagai koreksi terhadap program aslinya, sebelum diperkenankan melanjutkan
atau memiliki alternatif lain sebagai program pengayaan (enrichment program).
3. Mengidentifikasi Faktor Penyebab
Kesulitan Belajar
Menurut Loree (1970;121-133) yang
mempengaruhi proses belajar-mengajar adalah :
a. Stimulus
atau Learning Variables, mencakup :
1)
Learning
experience variables, antara lain mengenai :
a)
Method
variables, yang antara lain mencakup :
·
Kuat lemahnya motivasi untuk belajar,
·
Intensif-tidaknya bimbingan guru,
·
Ada tidaknya kesempatan untuk berlatih
atau berpraktik,
·
Ada tidaknya upaya dan kesempatan
reinforcement.
b)
Task
variables, yang mencakup :
·
Menarik tidaknya apa yang harus
dipelajari dan dilakukan,
·
Bermakna tidaknya apa yang dipelajari
dan dilakukan,
·
Sesuai tidaknya panjang atau luas serta
tingkat kesukaran apa yang harus dipelajari dan dikerjakan.
c)
Environmental
variables, yang menyangkut iklim belajar yang bergantung pada
faktor-faktor :
·
Tersedia tidaknya tempat atau ruangan
yang memadai,
·
Cukup tidaknya waktu, serta tepat
tidaknya penggunaan waktu tersebut untuk waktu belajar,
·
Tersedia tidaknya fasilitas belajar yang
memadai,
·
Harmonis tidaknya hubungan manusiawi
baik di sekolah, di rumah maupun di lingkungan masyarakat yang lebih luas.
2)
Organismic
Variables yang mencakup :
a)
Characteristic
of the learners, antara lain tingkatan intelegensi,
usia dan taraf kematangan untuk belajar. Dengan demikian, kelemahan sering
disebabkan oleh :
·
Kurangnya kemampuan dan keterampilan
kognitif,
·
Terbatasnya kemampuan, menghimpun, dan
mengintegrasikan informasi,
·
Kurang gairah belajar karena kurang
jelasnya tujuan/aspirasi.
b)
Mediating
processes, kondisi yang lazim terdapat dalam diri swasta
antara lain intelegensi, persepsi, motivasi, konflik, tekanan batin, dorongan,
lapar, takut, cemas, dan sebagainya turut berperan pula dalam proses berprilaku
termasuk prilaku belajar.
3)
Response
Variables, sebagaimana kkita kelompokkan berdasarkan tujuan
pendidikan, yaitu :
a)
tujuan kognitif, seperti pengetahuan,
konsep-konsep, keterampilan pemecahan masalah.
b)
tujuan afektif, seperti sikap-sikap,
nilai-nilai, minat dan apresiasi. tujuan pola-pola bertindak, antara lain :
·
Keterampilan psikomotorik, seperti
menulis, mengetik, kegiatan pendidikan jasmani atau olahraga, melukis dan
sebagainya,
·
Kompetensi-kompetensi untuk
menyelenggarakan pertemuan, pidato, memimpin diskusi, pertunjukkan dan
sebagainya,
·
Kebiasaan-kebiasaan berupa kebiasaan
hidup sehat, keamanan, kebersihan, keberanian disertai kesopanan, ketegasan,
kejujuran, kerapian, keserasian, dan sebagainya.
Burton
(1925:633-640), meskipun menyinggung banyak hal yang bersamaan seperti
dikemukakan Loreee, ia mengelompkkan secara sederhana ke dalam dua kategori,
yaitu faktor-faktor yang terdapat didalam diri siswa dan diluar diri siswa.
a)
Faktor-faktor yang terdapat dalam diri
siswa, antara lain :
(1)
Kelemahan fisik, seperti :
(a)
Suatu pusat susunan syaraftidak
berkembang secara sempurna karena luka atau cacat, atau sakit sehingga sering
membawa gangguan emosional.
(b)
Pancaindra mungkin berkembang kurang
sempurna atau sakit sehingga menyulitkan proses interaksi secara efektif,
(c)
Ketidakseimbangan perkembangan dan
reproduksi serta berfungsinya kelenjar-kelenjar tubuh sering membawa kelainan-kelainan
prilaku,
(d)
Cacat tubuh atau pertumbuhan yang kurang
sempurna, organ dan anggota-anggota badan sering membawa ketidakstabilan mental
dan emosional,
(e)
Penyakit menahun menghambat usaha-usaha
belajar secra optimal.
(2)
Kelemahan-kelemahan secara mental yang
sukar diatasi oleh individu yang bersangkutan dan juga oleh pendidikan, antara
lain :
(a)
Kelemahan mental ( taraf kecerdasan
memang kurang ),
(b)
Tampaknya seperti kelemahan mental
tetapi sebenarnya kurang minat, kebimbangan, kurang usaha, ktivitas yang kurang
terarah, kurang semangat, kurang menguasai keterampilan, dan kebiasaan
fundamental dalam belajar.
(3)
Kelemahan-kelemahan emosional antara
lain :
(a)
Terdapatnya rasa tidak aman,
(b)
Penyesuaian yang salah terhadap
orang-orang, situasi, dan tuntutan tugas serta lingkungan,
(c)
Tercekam rasa phobia mekanisme
pertahanan diri,
(d)
Ketidakmatangan.
(4)
Kelemahan yang disebabkan oleh kebiasaan
dan sikap-sikap yang salah, antara lain :
(a)
Tidak menentu dan kurang menaruh minat
dan bakat terhadap pekerjaan sekolah,
(b)
Banyak aktivitas yang bertentangan dan
tidak menunjang pekerjaan sekolah, menolak dan malas,
(c)
Kurang berani dan gagal untuk memusatkan
perhatian,
(d)
Kurang kooperatif dan menghindari
tanggung jawab,
(e)
Sering bolos dan tidak mengikuti
pembelajaran,
(f)
Nervous.
(5)
Tidak memiliki keterampilan-keterampilan
dan pengetahuan dasar yang tidak diperlukan, seperti :
(a)
Ketidakmampuan membaca, menghitung,
kurang menguasai pengetahuan dasar untuk suatu bidang studi yang sedang
diikutinya secara sekuensial, kurang menguasainya bahasa,
(b)
Memiliki kebiasaan belajar dan bekerja
yang salah.
b. Faktor
– faktor yang terletak di luar diri siswa (situasi sekolah dan masyarakat),
antara lain:
1)
kurikulum yang seragam (uniform), bahan dan buku – buku sumber
yang tidak sesuai dengan tingkat – tingkat kematangan dan perbedaan - perbedaan
individu;
2)
ketidaksesuaian standar administratif
(sistem pengajaran), penilaian, pengelolaan kegiatan dan pengalaman
belajar-mengajar, dan sebagainya;
3)
terlalu berat beban belajar siswa dan
atau beban mengajar guru;
4)
terlalu besar populasi siswa dalam
kelas, terlalu banyak menuntut kegiatan di luar, dan sebagainya;
5)
terlalu sering pindah sekolah atau
program, tinggal kelas, dan sebagainya;
6)
kelemahan dari sistem belajar-mengajar
pada tingkat – tingkat pendidikan (dasar/asal) sebelumnya;
7)
kelemahan yang terdapat dalam kondisi
rumah tangga (pendidikan, status sosial ekonomis, keutuhan keluarga, besarnya
anggota keluarga, tradisi dan kultur keluarga, ketentraman dan keamanan sosial
psikologis, dan sebagainya);
8)
terlalu banyak kegiatan di luar jam
pelajaran sekolah atau terlalu banyak yang terlibat dalam kegiatan
ekstrakulikuler;
9)
kekurangan makan (gizi, kalori, dan
sebagainya).
Bruner
and Bruner (1972) yang melakukan studi terhadap masalah putus sekolah (drop outs) di Indonesia, dari segi tinjauan
antropologis ternyata menemukan kelemahan – kelemahan kultural yang
fundamental, antara lain:
1)
pandangan masyarakat (orangtua) yang
salah terhadap pendidikan;
2)
falsafah hidup yang cepat puas, tidak
memiliki motif berprestasi (n-Ach);
3)
tradisi hidup sosial dan ekonomi yang
terbelakang.
Kalau
kita hubungkan dengan contoh – contoh kasus kita pada butir kedua di atas,
dapat diartikan sebagai berikut ini.
1)
Kalau kasus yang mengalami kelemahan itu
berupa kelas kelompok siswa secara keseluruhan, besar kemungkinan kelemahan itu
bukan bersumber pada kelemahan siswa secara individual. Di antara sumber –
sumber yang paling mungkin dari kelemahan itu, antara lain:
a)
kondisi sekolah yang diakibatkan oleh
kualifikasi guru yang kurang memadai syarat (pendidikan atau kepribadian),
sistem belajar-mengajar yang digunakan, sistem penilaian yang dipakai, bahan
dan sumber yang langka atau using (out of
date), dan sebagainya;
b)
manajemen kelas dan sekolah yang kurang
sesuai;
c)
letak sekolah (school site) yang terlalu terasing / terisolasi atau terganggu oleh
kesibukan lain.
2)
Kalau kasus berupa individu – individu
siswa mengalami kelemahan dalam bidang studi tertentu atau secara keseluruhan
atau sebagian besar dari prestasinya, mungkin bersumber pada kelemahan dasar
intelektual, emosional, kebiasaan belajar, perlakuan guru terhadapnya, dan
sebagainya seperti diterangkan di atas.
Cara
yang dapat kita tempuh untuk menghimpun berbagai informasi guna menemukan
sumber kelemahan belajar itu secara definitif, tentu dapat bermacam jalan kita
gunakan, antara lain:
1)
Untuk membuktikan bahwa kelemahan itu
bersumber pada kelemahan dasar belajar (intelegensi atau bakat) maka cara yang
paling tepat ialah:
a)
mengadakan tes intelegensi sehingga
diperoleh indeks atau ukuran tingkat intelegensinya (IQ);
b)
mengadministrasikan tes bakat (aptitude test) sehingga ditemukan pula
indeks atau ukuran kecenderungan bakatnya (bilangan, bahasa, sosial motoris,dan
sebagainya);
c)
analisis atas catatan prestasi
belajarnya secara historis - komparatif (teknik studi kasus atau case history) dengan jalan
membandingkannya.
(a)
Prestasi studi siswa secara keseluruhan
atau dalam bidang-bidang studi tertentu dari tahun ke tahun atau dari tingkat
ke tingkat (SD-SMP-SMA dan seterusnya; I-II-III dan seterusnya) sehingga
diperoleh grafik yang memberikan gambaran kecenderungan prestasinya dari waktu
ke waktu, jika memang garis kecenderungan prestasi itu:
(1)
hampir mendatar maka dapat kita
interpretasikan bahwa besar kemungkinan secara potensial lemah, tetapi kalai
(2)
bersifat naik turun (fluctuation) maka kelemahan itu bersifat
tradisional, yang berarti sumber lainnya (guru, bahan, metode, dan sebagainya)
masih harus terus kita cari lebih lanjut.
(b)
Prestasi siswa dari kelompok bidang
studi tertentu atau dengan bidang studi atau kelompok bidang studi lainnya maka
jika ternyata kita temukan:
(1)
bahwa siswa mengalami kelemahan dalam
bidang-bidang studi yang termasuk dalam group
factors tertentu (IPA, IPS, Bahasa, dan sebagainya) dapat kita tafsirkan
siswa yang bersangkutan mengalami kelemahan dalam aspek bakat khusus; tetapi
jika kelemahan itu ternyata
(2)
menyebar (tidak berpola) atau hanya
dalam suatu bidang studi tertentu maka dalam hal ini dapat kita tafsirkan
bukanlah karena faktor bakat, namun kemungkinan sumber lain (emosional hubungan
siswa-guru, dan sebagainya) yang masih harus kita cari.
2)
Untuk membuktikan kelemahan yang
ternyata bukan bersifat potensial, dapat dipergunakan pula berbagai teknik
pendekatan, antara lain:
a)
inventory
(daftar
cek, checklist) untuk mendeteksi
kebiasaan – kebiasaan belajar yang salah;
b)
skala sikap (attitude rating scale) untuk mendeteksi sikap-sikap belajar yang
salah;
c)
observasi yang terarah untuk mendeteksi
pola-pola performance, siswa dan guru
di dalam situasi yang aktual;
d)
analisis respons siswa dalam interaksi
belajar-mengajar di kelas atau wawancara khusus dengan siswa;
e)
analisis hasil pekerjaan tertulis (written product analysis) seperti
lembaran pekerjaan berhitung, bahasa, karangan, laporan, dikte, dan sebagainya
sehingga dapat kita temukan apakah kelemahan itu karena kurang memahami konsep
(prinsip) prosedur/cara kerja, kelalaian saja, dan sebagainya.
3)
Untuk mendapatkan data dan informasi
lainnya yang berkaitan dengan segi-segi kesehatan fisik atau psikisnya, latar
belakang keluarga, penyesuaian sosial, dan sebagainya, gutu tentu dapat
mengadakan kerja sama dengan wali kelas, guru pembimbing (konselor, dokter, dan
sebagainya) sehingga kesimpulan dan tafsiran yang dapat kita tarik lebih
lengkap dan meyakinkan, baik bagi siswa maupun bagi orangtuanya atau pihak
berkepentingan lainnya.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Berdasarkan
pembahasan yang telah tertulis sebelumnya, maka penulis dapat menyimpulkan
bahwa diagnostik kesulitan belajar merupakan langkah awal dari sebuah proses
bimbingan belajar, agar proses pemberian bimbingan bisa tepat sasaran. Adapun
hal yang didiagnosis adalah keseluruhan elemen dari proses pembelajaran,
diantaranya nilai, prestasi, kehadiran dan partisipasi dalam kegiatan
pembelajaran. Lebih jauh, kita dapat menggali faktor-faktor penyebab dari
kesulitan belajar secara mendalam.
II. Rekomendasi
Adapun
rekomendasi bagi pembaca ataupun pembuat makalah selanjutnya yang serupa,
diantaranya:
a. Lakukanlah
praktek ke lapangan dalam rangka mendiagnosis kesulitan belajar siswa, karena
kebenaran teori tak selalu menjadi kebenaran dalam praktek nyatanya.
b. Dapat
lebih memperdalam materi dengan memperbanyak referensi.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuddin, Abin (2005). PSIKOLOGI
PENIDIKAN. Bandung : PT Remaja Rosdakarya Offset.